Wednesday, February 18, 2015

Sepotong tanggung jawab di ujung kuku

Diar menyerahkan paket buku milikku, "Sampai kapan kamu memakai alamat rumahku sebagai alamat pengiriman paket?"

Aku nyengir sambil menerima paket bukuku. Tunggu, ku raih tangan Diar dan ku perhatikan dengan teliti jari dan kukunya. Diar mengangkat dahu sambil memasang ekspresi bertanya kenapa aku heran.

"Sejak kapan kamu memotong kuku sampai pangkalnya? Biasanya selalu kamu sisakan."

Meluncurlah cerita tentang Sophie, salah satu murid les privat Diar. Sophie masih duduk di kelas 3 sekolah dasar.

"Sore tadi Sophie melihat kuku panjangku. Dia bilang kuku panjang itu jorok --padahal nggak jorok sih-- lalu dengan polosnya dia mengambilkan aku pemotong kuku. Jadilah aku potong para kuku ini."

Aku bengong, "Serius? Kamu rela memotong kukumu begitu saja? Padahal aku seringkali mengingatkan kamu rajin potong kuku tak pernah dihiraukan"

Diar tertawa.

"Gini deh, An, waktu aku SD guruku selalu disiplin tentang potong kuku. Sepertinya guru Sophie juga begitu. Nah, sebagai bentuk tanggung jawab orang dewasa maka aku rela melakukannya."

"Demi apa???" tanyaku heboh,"tanggung jawab orang dewasa? Tumben sekali kamu nggak ngeles dan mencari seribu alasan seperti yang biasanya kamu lakukan padaku?"



"Anak seusia Sophie akan sulit memahami konsep kebolehan memanjangkan kuku. Takutnya akan terjadi ketidakseimbangan pemahaman jika aku bersikeras menjelaskan dan mencari alasan mengapa aku boleh memanjangkan kuku sementara anak seusia dia tidak."

Kali ini aku yang terpana. Urusan sederhana semacam potong kuku saja bisa menjadi menarik kalo sudah menyangkut Diar.

Tiba-tiba aku teringat tipikal orang dewasa di sekitar kita. Sebagian besar akan menganggap anak di bawah umur membeli rokok adalah hal biasa, karena mungkin bukan mereka yang menghisapnya. Adakah penjual yang menolak anak berseragam untuk membeli rokok? Entahlah.

Pada suatu wawancara, pemeran utama serial Sherlock mengucapkan sesuatu yang kurang pantas untuk ukuran masyarakat Inggris. Secara refleks dia menengok jam tangan dan berujar kurang lebih, "oh prime time sudah lewat kan?" Adakah orang dewasa yang berdiri di dalam ataupun di balik layar kotak di negeri ini memikirkan efek tayangan di saat sebagian anak dan remaja masih menonton? Entahlah.

Letak tanggung jawab dan kesadaran dibandingkan ketidakpedulian mungkin memang dekat. Bisa jadi sesederhana memotong kuku atau serumit memikirkan rumus matematika. Mungkin juga karena kita tidak punya aktor sekeren Benedict Cumberbatch. Entahlah.

afatsa

sambil menunggu hujan reda

No comments:

Post a Comment