Friday, March 6, 2015

Pendidikan sampah

Suatu sore Diar dan aku  menonton pawai festival budaya di kota pahlawan. Iring-iringan pawai dipastikan menutup sebagian jalan utama. Berdesakan bersama rombongan penonton lain yang mulai berdatangan, kami mencari lokasi strategis.

Dimana ada gula di situ ada semut. Keramaian selalu berbanding lurus dengan beraneka ragam pedagang makanan. Tinggal pilih saja antara es potong, jagung rebus, pentol, sireng, gorengan, es buah, atau aneka jajanan lain. Kami pun menepi, membeli beberapa jajanan lalu duduk di tepi trotoar. Menikmati sore dan menghabiskan jajan sambil menantikan iringan pawai lewat.

Baru beberapa kali suapan, Diar menyikut lenganku.

"Lihat tuh, An, arah jam sembilan." Aku menoleh dan menyaksikan seorang wanita membuang bungkus bekas jajanan milik anaknya begitu saja di dekat trotoar.

Kami melongo sebentar.

"Kamu bawa kantong plastik kan? Sini!" Aku mengangguk lalu melanjutkan makanku sambil menunggu Diar mengucapkan sesuatu.

Wednesday, February 18, 2015

Sepotong tanggung jawab di ujung kuku

Diar menyerahkan paket buku milikku, "Sampai kapan kamu memakai alamat rumahku sebagai alamat pengiriman paket?"

Aku nyengir sambil menerima paket bukuku. Tunggu, ku raih tangan Diar dan ku perhatikan dengan teliti jari dan kukunya. Diar mengangkat dahu sambil memasang ekspresi bertanya kenapa aku heran.

"Sejak kapan kamu memotong kuku sampai pangkalnya? Biasanya selalu kamu sisakan."

Meluncurlah cerita tentang Sophie, salah satu murid les privat Diar. Sophie masih duduk di kelas 3 sekolah dasar.

"Sore tadi Sophie melihat kuku panjangku. Dia bilang kuku panjang itu jorok --padahal nggak jorok sih-- lalu dengan polosnya dia mengambilkan aku pemotong kuku. Jadilah aku potong para kuku ini."

Aku bengong, "Serius? Kamu rela memotong kukumu begitu saja? Padahal aku seringkali mengingatkan kamu rajin potong kuku tak pernah dihiraukan"

Diar tertawa.

"Gini deh, An, waktu aku SD guruku selalu disiplin tentang potong kuku. Sepertinya guru Sophie juga begitu. Nah, sebagai bentuk tanggung jawab orang dewasa maka aku rela melakukannya."

"Demi apa???" tanyaku heboh,"tanggung jawab orang dewasa? Tumben sekali kamu nggak ngeles dan mencari seribu alasan seperti yang biasanya kamu lakukan padaku?"

Monday, January 5, 2015

Meneropong kejujuran

Suatu hari Diar bercerita tentang ujian mata kuliah Statistik. Kebetulan dia tergabung di kelas pascasarjana yang didominasi para guru dan beberapa teman sebaya yang sama-sama  fresh graduate. 

At that time, I know something's wrong with the exam.

Semua berawal dari beberapa waktu lalu sebelum musim ujian tiba. Diar dan dua orang teman kami (Safa dan Tian) "didekati" oleh beberapa guru yang mereka cukup kenal dekat. Permintaannya sederhana, jika saat mengoreksi jawaban ujian ada hasil di bawah 60, maka si pengoreksi diminta menambahkan sampai ke batas minimal untuk terhitung B.