Monday, January 5, 2015

Meneropong kejujuran

Suatu hari Diar bercerita tentang ujian mata kuliah Statistik. Kebetulan dia tergabung di kelas pascasarjana yang didominasi para guru dan beberapa teman sebaya yang sama-sama  fresh graduate. 

At that time, I know something's wrong with the exam.

Semua berawal dari beberapa waktu lalu sebelum musim ujian tiba. Diar dan dua orang teman kami (Safa dan Tian) "didekati" oleh beberapa guru yang mereka cukup kenal dekat. Permintaannya sederhana, jika saat mengoreksi jawaban ujian ada hasil di bawah 60, maka si pengoreksi diminta menambahkan sampai ke batas minimal untuk terhitung B.


Terang saja Diar, Safa, dan Tian melongo. Speechless.

"Lantas kamu bilang apa?"

"Kami sih nggak merespon iya tapi juga nggak langsung menolak"

"Tunggu, bukannya di kelasmu ada guru dari sekolah Islam favorit juga? Masa' sih beliau terlibat?"

"Jelas nggak lah."

Jadi, tidak semua orang di kelas tersebut terlibat. Ternyata permintaan itu disampaikan oleh Nona X, yang notabene teman seangkatan kami saat S1. Kebetulan dia juga sudah jadi guru sekarang. Para oknum guru tahu siapa saja yang tidak mau terlibat. Sayangnya, tiga temanku termasuk Diar masih di wilayah abu-abu.

"Untungnya nilai jawaban yang ku koreksi di atas 70, jadi nggak aku tambah."

"Bagus, donk. Kamu jadi aman." :)

Masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Nilai Diar 5 poin lebih dari yang seharusnya. Ada jawaban yang salah tapi dibenarkan oleh si pengoreksi. Yup, salah satu oknum guru itu.

"Setelah nilai didata, lembar jawaban dikembalikan ke pemilik, aku menemui dosen untuk komplain." Diar melanjutkan kisahnya.

Sang profesor bertanya, "Jawabannya ada yang disalahkan?" Diar menjelaskan masalahnya

"Wah jujur sekali kamu, banyak orang akan diam kalau nilainya lebih" sang profesor berkomentar.

"Wow, kamu berani sekali!" kali ini saya yang berkomentar.

"Well, Tian juga mengatakan hal yang sama."

Diar melanjutkan, "begini, An, bagaimanapun mereka adalah guru senior. Jauh berpengalaman daripada aku. Siapa sih aku berani-berani menasehati mereka dengan berbusa-busa. Tapi dengan melakukan komplain itu, aku berkesempatan menunjukkan sikapku, sekedar menarik garis batas, aku nggak mau terlibat tindakan ketidakjujuran akademis semacam itu. Urusan tanggapan mereka, aku tak ambil pusing."

Sesederhana itu motivasi Diar, kawan. Kalau aku tidak mengenalnya cukup baik, atau aku berpikiran negatif pasti aku menganggap tindakannya sebagai show off. Namun aku paham betul bagaimana sikap Diar kalau menyangkut urusan prinsip. Kejujuran masuk nomor satu dalam jajaran penting prinsip hidupnya.

Meminjam istilah Tere Liye, orang semacam ini adalah mereka yang memilih menggenggam erat pemahaman yang baik. Bukan sekedar berbicara norma dalam hafalan ujian negara. Aku tak perlu meneropong kejujuran lewat teleskop raksasa, sebab ia begitu dekat asal kita mau menggenggamnya.

05.01.2015

di tengah musim ujian akhir semester

-afatsa

1 comment:

  1. kejujuran adalah karakter yang terbangun pada diri seseorang. Di buku Character Matters oleh Thomas Lickona merupakan kecerdasan juga. Dapat diperdalam dengan sumber materi yang lain dan yang yang mendukung.

    ReplyDelete