Friday, March 6, 2015

Pendidikan sampah

Suatu sore Diar dan aku  menonton pawai festival budaya di kota pahlawan. Iring-iringan pawai dipastikan menutup sebagian jalan utama. Berdesakan bersama rombongan penonton lain yang mulai berdatangan, kami mencari lokasi strategis.

Dimana ada gula di situ ada semut. Keramaian selalu berbanding lurus dengan beraneka ragam pedagang makanan. Tinggal pilih saja antara es potong, jagung rebus, pentol, sireng, gorengan, es buah, atau aneka jajanan lain. Kami pun menepi, membeli beberapa jajanan lalu duduk di tepi trotoar. Menikmati sore dan menghabiskan jajan sambil menantikan iringan pawai lewat.

Baru beberapa kali suapan, Diar menyikut lenganku.

"Lihat tuh, An, arah jam sembilan." Aku menoleh dan menyaksikan seorang wanita membuang bungkus bekas jajanan milik anaknya begitu saja di dekat trotoar.

Kami melongo sebentar.

"Kamu bawa kantong plastik kan? Sini!" Aku mengangguk lalu melanjutkan makanku sambil menunggu Diar mengucapkan sesuatu.



Diar mengambil tas selempang milikku dan mengambil lipatan kantong plastik hitam di tempat biasa. Dibuangnya sampah miliknya, diikatlah si kantong plastik dan diluncurkan kembali ke salah satu bagian tasku.

"Tempo hari kita diskusi tentang potong kuku dan tanggung jawab orang dewasa. Sama aja seperti kali ini."

"Maksudmu?"

"Anak dari ibu tadi akan mengalami ketidakseimbangan dalam menumbuhkan nilai kebersihan."

"Jelaskan padaku!"

"Gini deh, tak peduli seberapa sering anak itu diajarkan di sekolah tentang kebersihan dan buang sampah pada tempatnya, pada akhirnya takkan ada bedanya. Mungkin dia bahkan lebih sering melihat orang dewasa di luar lingkungan sekolah membuang sampah seenaknya. Ya nggak usah ngeluh soal banjir kalau got air tersumbat karena sampah!"

"Tapi, Diar, bisa jadi kalau kesadaran berhasil tumbuh lewat sekolah, si anak bisa mengajak orang tuanya menjadi lebih sadar lingkungan. Hayo?"

"Belum tentu, bandingkan berapa guru di sekolah kita dulu yang beneran concern soal buang sampah pada tempatnya. Ditambah  kehidupan anak yang sedari kecil melihat orang tuanya dengan mudah melakukan hal seperti tadi. Jauh, An, Jauh."

Aku mengangkat bahu. Ku ambil kantong plastik berisi sampah Diar dan ku tambah isinya dengan sampahku sendiri. Plastik itu meluncur kembali ke satu sudut kantong di tasku.

Kami berdiri dan bersiap mencari sudut jalan tepat untuk menonton pawai. Beberapa pikiran lewat sambil menyaksikan ceceran sampah di tepi trotoar. Sepanjang jalan kami menyusuri beberapa kilometer mencari sudut lain untuk menonton, ceceran sampah membuntuti. Entah hilang kemana tempat sampah di kota ini.

Mungkin yang kita dapatkan sejak masa kanak-kanak bukanlah pendidikan kebersihan, tapi pendidikan sampah.

Tempat sampah menganggur 
seolah sampah adalah hutang yang harus diangsur
betapa berat tangan terulur 
sekedar mempertanggungjawabkan sisa hidup yang semakin tidak teratur

06.03.2015

afatsa

terjebak di kantor kala hujan

1 comment:

  1. kalimat ini menarik " “Anak dari ibu tadi akan mengalami ketidakseimbangan dalam menumbuhkan nilai kebersihan.”

    ReplyDelete