Sekitar setahun yang lalu (September 2013) tengah beredar kontroversi pemecatan karyawan asal Indonesia oleh sebuah perusahaan asing. Penyebabnya adalah kesalahan takaran suatu zat. Satuan Ounce (oz) diartikan langsung sebagai ons oleh yang bersangkutan. Perdebatan berlanjut menjadi sebuah isu tentang kesalahan pengajarn ONS di Indonesia.
Waktu itu saya sempat membuat status agak panjang di laman "muka buku". Nah, kali ini saya berniat menulis ulang dengan beberapa tambahan penjelasan, ya itung-itung menambah satu postingan blog. *benerin kerudung dulu*
Awal Mula ONS
Bangsa kita ternyata termasuk barisan gagal move on. Buktinya, satuan ONS yang kita kenal sekarang sebenarnya diturunkan dari sistem Belanda. Boleh cek http://en.wikipedia.org/wiki/Ounce, kakak...
Silakan cari sumber lain yang lebih dipercaya selain mas Wiki ya...:D
Metrologi di Indonesia
Nah, kita punya lho badan khusus yang menangani urusan konversi nilai dan satuan termasuk cara penulisannya dalam naskah resmi, yaitu Direktorat Metrologi. Eits, bukan Meteorologi dan Geofisika, hati-hati keseleo lidahnya :D
Berdasarkan UU no 2 tahun 1981 tentang Metrologi legal, untuk satuan besaran massa Indonesia menganut sistem SI (metric system). Apa itu metric system, silakan cek http://en.wikipedia.org/wiki/Metric_system. Berikut ini redaksi pasal 5 ayat 1 dalam UU tersebut yang dengan jelas menyebutkan kalau tidak menggunakan Kg ya kita harus menggunakan gram.
Seperseribu (0,001) bagian dari kilogram adalah gram yang dinyatakan dengan lambang satuan g. Kelipatan-kelipatan dan bagian-bagian desimal dari kilogram, jika tidak dinyatakan dengan sebuah bilangan di depan satuan atau lambang dari satuan kilogram ini, maka harus dinyatakan dalam satuan gram.
Bahkan, Direktorat Metrologi juga telah melarang pemakaian istilah ONS yang disetarakan dengan 100 gram lho. Salah satu tindakan preventif yang dilakukan adalah dengan memusnahkan semua anak timbangan yang bertuliskan "ons". Kalau masih ada yang punya timbangan kayak gitu, segera lapor ya. Siapa tahu dapat ganti timbangan baru ;). *salim dulu sama pihak direktorat*
Kontroversi
Menurut saya (garis bawahi ya, hehehe), perlu adanya sosialisasi yang masif, terstruktur, dan sistematis agar siswa-siswa tidak sampai salah kaprah dalam menggunakan satuan. Ini tidak hanya berlaku untuk satuan ukuran massa (atau secara umum disebut berat, padahal beda juga :D ), tapi juga perlu dipastikan bahwa satuan ukuran lain yang digunakan telah memenuhi standar. Nah, guru matematika dan fisika punya peran penting di sini.
Pengenalan sistem pengukuran ini (menurut saya lho ya) perlu diajarkan secara bertahap. Ada waktu khusus misalnya pada tingkat kelas yang lebih lanjut, siswa perlu dikenalkan beragam sistem satuan yang dipakai di negara lain. Kalau nggak salah, dulu saat SMA kelas satu pernah belajar, tapi waktu itu masih alergi sama fisika. *ayok, yang dulu juga alergi silakan sungkem sama guru fisika*
Contoh kasus pembelajaran semacam ini sudah dilakukan di Amerika. Meskipun metric system (SI) diajarkan di sekolah, mph (miles per hour) masih menjadi standar utama ukuran kecepatan kendaraan (kalau ikut SI harusnya sih km/h).
Terakhir, ketika kita berkomunikasi baik di dunia akademik maupun wilayah kerja perlu ada kesepahaman dulu apa yang dimaksud dgn satuan ukuran tertentu. Komunikasi kan dua arah, jadi harus benar-benar saling paham agar tidak salah paham.
Kalau bahasanya matematikawan: didefinisikan dulu di depan, biar nggak bingung belakangan. :p
Di tengah kegembiraan hari Senin di kota pahlawan
afatsa
Bagus Bu Guru eee.. Bu Dosen infonya, biar hati-hati saat guru sampaikan ilmu.
ReplyDelete